eadaan memang belumlah
baik, kondisi ekonomi belum merata, ada yang kaya se kaya-kayanya ada yang
sekedar sehari sekali untuk makan. Diperparah tingkah laku elit yang punya
kelainan dengan mengutamakan kemaslahatan sendiri dengan mengkorupsi uang negara,
kebijakan yang dikondisikan demi memuluskan kongkalikong. Namun jangan
kekacauan ini mampu menindas kita dalam ketulusan apalagi sampai perilaku
amoral ini dijadikan identitas kebangsaan serta budaya kebangsaan.
Identitas adalah
karakter yang melekat pada sesuatu
seperti api yang bercirikan panas, namun dalam kehidupan berbangsa dengan
varian perilaku, tolak ukur identitas tidak ditentukan berdasar dominasi
perilaku, pernyataan-pernyataan bahwa korupsi dan tindakan amoral lainnya sudah
menjadi budaya bangsa- yang sebenarnya lahir dari bentuk kegeraman atas
keadaan- jangan sampai memberangus
keberadaan orang-orang yang masih tulus dan jujur di bangsa ini. Masih ada ibu-ibu
yang tulus mengasuh anak-anaknya, bapak-bapak yang mencari nafkah dengan jujur untuk
keluarganya, hubungan persekawanan yang dibangun dengan kemurnian rasa serta
berderet kebaikan yang masih ada di bangsa ini.
Memang keadaan sedang
buruk tapi jangan ini menjadikan kita berkecil hati dan menjadi bagian arus besar
yang sedang berkuasa. Ini kehidupan, Tuhan menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan, ada baik ada buruk, ada siang ada malam. Tidak akan ada baik
jika tidak ada buruk begitupun sebaliknya, ibarat mata uang logam yang tak
terpisah, itu sesuatu yang niscaya. Ada pertanyaan, melihat keadaan seperti ini
kenapa manusia merusak begitu banyak? Padahal dikatakan manusia itu cenderung
fitrah.
Saat individu
memutuskan untuk mengambil satu tindakan tertentu, itu yang terbaik bagi
dirinya pada waktu itu, lepas dari ukuran-ukuran orang lain dan dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungannya. Dalai Lama dalam buku Healing Emotion mengatakan “kalau kita lihat sejarah lebih dari
satu juta tahun keberadaan manusia, saya rasa pembangunan itu lebih banyak
daripada kehancuran. Biasanya, kalau sesuatu yang merusak itu terjadi, kita
terkejut, karena sifat kita sebagai manusia adalah penuh kasih sayang dan
lembut. Kalau hal-hal yang menyenangkan terjadi, kita menganggapnya biasa-biasa
saja. Kehancuran membuat kesan yang lebih besar, jadi kita anggap kehancuran
itu lebih banyak daripada sesuatu yang lebih lembut seperti pembangunan”.
Sudah jelas bahwa
kebaikan itu masih lebih banyak dari keburukan bahkan nilainya lebih besar.
kebaikan itu unsur Tuhan jelas nilainya lebih besar, dalam islam tatkala
seseorang masuk dalam agama islam maka keburukan yang dilakukan sebelum ia
islam dihapuskan karena sebanyak apapun perbuatan buruk yang dilakukan jika
dibagi dengan kebaikan berislam dimana kebaikan adalah unsur ke-Tuhan-an, dimana
Tuhan tak terbatas maka hasilnya adalah ketakterbatasan.
Oleh sebab itu mari
gunakan energi kita untuk hal yang lebih produktif daripada digunakan untuk
menghujat dan memunculkan perasaan-perasaan negatif yang memberi dampak tidak
baik bagi diri kita. salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar