ZAINULLAH HUSNAN

Tulis, Silat, Pengobatan, komunikasi, dan Spiritual

Full-Width Version (true/false)

LightBlog

Senin, 22 Juli 2013

SEOLAH-OLAH DI NEGERI SEOLAH-OLAH


          
            Semula saya tidak memperhatikan yang mereka katakan namun semakin sering dari hari-hari kata itu diulang-ulang sehingga menjadi popular di kalangan kelompok kecil itu. Saya bertanya-tanya apa gerangan yang ada dibenak mereka sehingga itu diulang-ulang layaknya bacaan kitab suci, layaknya sang penguasa jagad yang disebut berulang-ulang. Entah bercanda, serius atau hanya kosa kata itu yang benar-benar melekat di benak mereka atau memang lingkungan yang membentuk mereka hanya mengusai kata “seolah-olah” itu.

        Seolah-olah itu bohong, tidak sebenarnya, sesuatu yang menunjukkan ketidakbenaran, kepalsuan, topeng yang digunakan untuk menutupi sesuatu yang apa adanya seperti seolah-olah baik berarti pada dasarnya tidak baik atau hanya terlihat baik. Seolah-olah tak berbeda dengan citra yaitu hanya kulit permukaan yang dipoles sedemikian rupa supaya terlihat baik, bagus, dan indah sementara di dalam berbeda.

           Kembali ke komunitas tadi, terbetik beberapa pertanyaan, kenapa kata itu diulang-ulang? Apa yang melatarbelkangi? Apa dampak jika itu dilulang-ulang? Kepada siapa yurisprudensi kata-kata tersebut? Adakah itu gambaran secara umum komunitas itu atau merupakan pancaran kecil dari keadaan komunitas yang lebih besar bernama negara? Dan masih banyak segerombolan pertanyaan yang lain.

           Tak ada asap kalau tak ada api, tak akan muncul tiba-tiba kalau tak ada yang memulai. Untuk melihat asal-usul kita butuh investigasi lebih dalam yang menguras waktu dan tenaga lebih, butuh metode-metode penelitian dengan rujukan-rujukan ilmiah, daripada  berlama-lama dengan hal itu kita ambil saja gambaran secara umum. Pepatah mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi guru, panutan dan model adalah orang-orang yang memangku jabatan sosial, seperti orang tua, guru, tokoh politik, tokoh agama, saya tidak berani mengatakan pemimpin khawatir makna dan tanggung jawabnya terdistorsi. Melalui media kehidupan anak-anak muda ini melihat sandiwara politik, sandiwara pemberantasan korupsi, sandiwara vandalisme hukum, dan bentuk-bentuk rekayasa kehidupan dengan bunga-bunga tampilan baik, sebagai aktor utama para pemangku jabatan dan keserakahan sebagai sutradara. Salah satu seri ceritanya keindahan, kebaikan, dan etika. Demi keindahan kota para pedagang kaki lima yang menggantungkan hidup dari hasil berjualan harus digusur, gubuk-gubuk reot pinggir sungai digilas bulldozer yang kekar-kekar, pasar-pasar tradisional dimodernisasi lalu dijual dengan harga yang tak mampu dijangkau penghuni sebelumnya. Sekali lagi ini Semua demi bunga-bunga tampilan baik dan keindahan.

          Sejak kapan keindahan lebih penting dari kebutuhan makan, tempat berteduh dan baju penepis dingin. Ini gambaran seolah-olah dari negeri seolah-olah dalam sandiwara seolah-olah, perihal kendihan itu hanya bagian kecil dari adegan sandiwara berseri ini.

           Demi kebaikan buat kerusuhan lalu munculkan superhero sebagai pembela kebenaran, demi kebaikan permudah pabrik-pabrik asing masuk dan jadikan orang-orang sebgai kuli, lalu ukur prosentasi keberhasilan ekonomi kita dengan angka-angka diatas kertas. Demi kebaikan iklankan diri dengan citra baik, lalu panggil lembaga survey, ukur bahwa si S citranya sekian persen, si D naik, si P melambung tinggi. Secara etika jika kamu korup jangan ungkit-ungkit korupsi orang lain kalaupun tertangkap tebar senyum dan lambaikan tangan itu lebih terlihat elegan atau ungkap yang kecil-kecil supaya orang lupa dan kamu jadi pahlawan. Memang lucu kalau tidak dikatakan edan demi kebaikanmu supaya eksis dan diterima kamu harus menjadi manusia seolah-olah supaya nanti lulus casting sandiwara  seolah-olah. Ya namanya sandiwara memang tidak ada yang asli.

           Mereka terlalu nyaman bersandiwara sehingga tidak sadar bahwa muka ini penuh bopeng kepalsuan, tak ayal karena kita hidup dikelilingi muka-muka topeng, perilaku topeng, komunitas kecil tadi pun teracuni kata seolah-olah. Mudah-mudahan masih level kata-kata saja.

       Sulit kiranya berharap rangkain episode sandiwara ini segera diakhiri oleh sutradara, namun jika kesadaran kita mengatakan ini sebagai imitasi, masih ada yang bisa kita lakukan. Memang Semua tergantung pilihan kita menjadi yang sebenar-benarnya atau seolah-olah, jadi yang baik atau yang kelihatan baik, jadi yang berarti atau yang artifisial, jadi yang bermuka asli atau bermuka topeng. Apapun pilihanmu, mari kita putus generasi imitasi ini mari berhenti menjadi aktor atau aktris sandiwara ini. Mau diobok-obok sampai mabuk pun hanya itu solusinya.

          Tak usah resah dan gundah gulana yang tua pasti mati dan yang muda akan mengubur sandiwara ini sebagai masa lalu. Kembali ke komunitas kecil tadi mudah-mudahan kata seolah-olah mereka menunjukkan bahwa mereka seolah-olah tidak baik, dan saya tidak tahu apakah saya terjangkiti penyakit ini karena tulisan ini juga seolah-olah tidak benar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar