Semula saya tidak memperhatikan yang mereka katakan namun semakin sering dari hari-hari kata itu diulang-ulang sehingga menjadi popular di kalangan kelompok kecil itu. Saya bertanya-tanya apa gerangan yang ada dibenak mereka sehingga itu diulang-ulang layaknya bacaan kitab suci, layaknya sang penguasa jagad yang disebut berulang-ulang. Entah bercanda, serius atau hanya kosa kata itu yang benar-benar melekat di benak mereka atau memang lingkungan yang membentuk mereka hanya mengusai kata “seolah-olah” itu.
Seolah-olah itu bohong, tidak
sebenarnya, sesuatu yang menunjukkan ketidakbenaran, kepalsuan, topeng yang
digunakan untuk menutupi sesuatu yang apa adanya seperti seolah-olah baik
berarti pada dasarnya tidak baik atau hanya terlihat baik. Seolah-olah tak
berbeda dengan citra yaitu hanya kulit permukaan yang dipoles sedemikian rupa
supaya terlihat baik, bagus, dan indah sementara di dalam berbeda.
Kembali ke komunitas tadi, terbetik
beberapa pertanyaan, kenapa kata itu diulang-ulang? Apa yang melatarbelkangi?
Apa dampak jika itu dilulang-ulang? Kepada siapa yurisprudensi kata-kata
tersebut? Adakah itu gambaran secara umum komunitas itu atau merupakan pancaran
kecil dari keadaan komunitas yang lebih besar bernama negara? Dan masih banyak
segerombolan pertanyaan yang lain.
Tak ada asap kalau tak ada api, tak akan
muncul tiba-tiba kalau tak ada yang memulai. Untuk melihat asal-usul kita butuh
investigasi lebih dalam yang menguras waktu dan tenaga lebih, butuh metode-metode
penelitian dengan rujukan-rujukan ilmiah, daripada berlama-lama dengan hal itu kita ambil saja
gambaran secara umum. Pepatah mengatakan guru kencing berdiri murid kencing
berlari. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi guru,
panutan dan model adalah orang-orang yang memangku jabatan sosial, seperti
orang tua, guru, tokoh politik, tokoh agama, saya tidak berani mengatakan
pemimpin khawatir makna dan tanggung jawabnya terdistorsi. Melalui media kehidupan
anak-anak muda ini melihat sandiwara politik, sandiwara pemberantasan korupsi,
sandiwara vandalisme hukum, dan bentuk-bentuk rekayasa kehidupan dengan
bunga-bunga tampilan baik, sebagai aktor utama para pemangku jabatan dan
keserakahan sebagai sutradara. Salah satu seri ceritanya keindahan, kebaikan,
dan etika. Demi keindahan kota para pedagang kaki lima yang menggantungkan
hidup dari hasil berjualan harus digusur, gubuk-gubuk reot pinggir sungai
digilas bulldozer yang kekar-kekar, pasar-pasar tradisional dimodernisasi lalu
dijual dengan harga yang tak mampu dijangkau penghuni sebelumnya. Sekali lagi
ini Semua demi bunga-bunga tampilan baik dan keindahan.
Sejak kapan keindahan lebih penting dari
kebutuhan makan, tempat berteduh dan baju penepis dingin. Ini gambaran
seolah-olah dari negeri seolah-olah dalam sandiwara seolah-olah, perihal
kendihan itu hanya bagian kecil dari adegan sandiwara berseri ini.
Demi kebaikan buat kerusuhan lalu
munculkan superhero sebagai pembela kebenaran, demi kebaikan permudah
pabrik-pabrik asing masuk dan jadikan orang-orang sebgai kuli, lalu ukur prosentasi
keberhasilan ekonomi kita dengan angka-angka diatas kertas. Demi kebaikan iklankan
diri dengan citra baik, lalu panggil lembaga survey, ukur bahwa si S citranya
sekian persen, si D naik, si P melambung tinggi. Secara etika jika kamu korup
jangan ungkit-ungkit korupsi orang lain kalaupun tertangkap tebar senyum dan
lambaikan tangan itu lebih terlihat elegan atau ungkap yang kecil-kecil supaya
orang lupa dan kamu jadi pahlawan. Memang lucu kalau tidak dikatakan edan demi
kebaikanmu supaya eksis dan diterima kamu harus menjadi manusia seolah-olah
supaya nanti lulus casting sandiwara
seolah-olah. Ya namanya sandiwara memang tidak ada yang asli.
Mereka terlalu nyaman bersandiwara
sehingga tidak sadar bahwa muka ini penuh bopeng kepalsuan, tak ayal karena
kita hidup dikelilingi muka-muka topeng, perilaku topeng, komunitas kecil tadi
pun teracuni kata seolah-olah. Mudah-mudahan masih level kata-kata saja.
Sulit kiranya berharap rangkain
episode sandiwara ini segera diakhiri oleh sutradara, namun jika kesadaran kita
mengatakan ini sebagai imitasi, masih ada yang bisa kita lakukan. Memang Semua
tergantung pilihan kita menjadi yang sebenar-benarnya atau seolah-olah, jadi
yang baik atau yang kelihatan baik, jadi yang berarti atau yang artifisial,
jadi yang bermuka asli atau bermuka topeng. Apapun pilihanmu, mari kita putus
generasi imitasi ini mari berhenti menjadi aktor atau aktris sandiwara ini. Mau
diobok-obok sampai mabuk pun hanya itu solusinya.
Tak usah resah dan gundah gulana yang
tua pasti mati dan yang muda akan mengubur sandiwara ini sebagai masa lalu. Kembali
ke komunitas kecil tadi mudah-mudahan kata seolah-olah mereka menunjukkan bahwa
mereka seolah-olah tidak baik, dan saya tidak tahu apakah saya terjangkiti
penyakit ini karena tulisan ini juga seolah-olah tidak benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar