“Saya tidak tahu apakah perasaanku
yang bermasalah tapi status ini terasa hambar, ah.. mungkin perasaanku saja
yang kurang peka”. komentarku tempo
hari di salah satu status FB.
Mungkin terkesan sinis, tapi ini
bukan tentang kesan dan tidak kesan, bukan pula untuk menyindir atau tidak
menghargai apalagi untuk menghakimi
karena bukan kapasitasku untuk hal-hal seperti itu. Itu adalah ekspresi atau
pengejawantahan perasaan semata sebagaimana status temanku juga merupakan
tuangan realitas internalnya dalam bentuk huruf dan titik koma.
Kata dalam bentuk lisan atau pun
tulisan selalu mengandung daya magis, bagi penggubah puisi kata adalah media
ekspresi jiwa terdalam dengan pilihan-pilihan diksi estetis, bagi pejuang kata
adalah senjata, bagi diplomat kata
adalah alat diplomasi, bagi ekonom kata adalah alat tawar menawar, bagi
pencerah kata adalah dakwah, bagi ahli supranatural kata adalah mantra.
Pramoedya ananta tur mengibaratkan kata sebagai tanah lempung yang mudah di bentuk sesuka hati sehingga dapat berdentang selayaknya besi. Sementara pejuang kemerdekaan suku indian subcomandante marcos menjelaskan kata-kata dengan heroik.
“ Kata adalah
senjata
Adalah
kata-kata yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari kita
Adalah
kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang ke tempat lain
Ketika kita
diam, kita akan tetap sendirian , berbicara kita membangun persahabatan dengan
yang lain
Para penguasa
menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam
Kita
menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita
Inilah
senjata kita saudara-saudaraku”.
Serunya untuk membakar semangat perlawanan tanpa granat dan peluru tajam.
Kehidupan memang tak bisa lepas dari kata-kata sebagaimana
realitas jagad raya yang berdiri di balik kata “kun fa yakuun”. Namun kata akan menjadi mayat yang kaku tanpa
ada jiwa di dalamnya, ia akan menjadi senjata yang kosong tanpa peluru, oleh
karena itu kata harus mewakili realitas internal yang sesungguhnya. Jika ia
mewakili keinginan, Ia bisa hidup dengan kita melakukan, jika ia bertutur
kehidupan, ia bisa hidup dengan kita mengalami, jika ia adalah dakwah, ia bisa
hidup dengan ikhlas dan keyakinan. Ada benang halus yang menghubungkan kata
dengan realitas internal, sehingga sulit untuk dibohongi mana yang sekedar berkata-kata
dan berkata dengan jiwa.
Bukankah Tuhan tidak suka orang yang hanya bisa berkata-kata namun tidak melakukan? salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar