ZAINULLAH HUSNAN

Tulis, Silat, Pengobatan, komunikasi, dan Spiritual

Full-Width Version (true/false)

LightBlog

Selasa, 16 Juli 2013

TENTANG KATA


“Saya tidak tahu apakah perasaanku yang bermasalah tapi status ini terasa hambar, ah.. mungkin perasaanku saja yang kurang peka”.  komentarku tempo hari  di salah satu status FB. 

Mungkin terkesan sinis, tapi ini bukan tentang kesan dan tidak kesan, bukan pula untuk menyindir atau tidak menghargai  apalagi untuk menghakimi karena bukan kapasitasku untuk hal-hal seperti itu. Itu adalah ekspresi atau pengejawantahan perasaan semata sebagaimana status temanku juga merupakan tuangan realitas internalnya dalam bentuk huruf dan titik koma.

Kata dalam bentuk lisan atau pun tulisan selalu mengandung daya magis, bagi penggubah puisi kata adalah media ekspresi jiwa terdalam dengan pilihan-pilihan diksi estetis, bagi pejuang kata adalah senjata, bagi  diplomat kata adalah alat diplomasi, bagi ekonom kata adalah alat tawar menawar, bagi pencerah kata adalah dakwah, bagi ahli supranatural kata adalah mantra.

           Pramoedya ananta tur mengibaratkan kata sebagai tanah lempung yang mudah di bentuk sesuka hati sehingga dapat berdentang selayaknya besi. Sementara pejuang kemerdekaan suku indian subcomandante marcos menjelaskan kata-kata dengan heroik.
“ Kata adalah senjata
Adalah kata-kata yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari kita
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang  ke tempat lain
Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian , berbicara kita membangun persahabatan dengan yang lain
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita
Inilah senjata kita saudara-saudaraku”. Serunya untuk membakar semangat perlawanan tanpa granat dan peluru tajam.

           Kehidupan memang tak bisa lepas dari kata-kata sebagaimana realitas jagad raya yang berdiri di balik kata “kun fa yakuun”.  Namun kata akan menjadi mayat yang kaku tanpa ada jiwa di dalamnya, ia akan menjadi senjata yang kosong tanpa peluru, oleh karena itu kata harus mewakili realitas internal yang sesungguhnya. Jika ia mewakili keinginan, Ia bisa hidup dengan kita melakukan, jika ia bertutur kehidupan, ia bisa hidup dengan kita mengalami, jika ia adalah dakwah, ia bisa hidup dengan ikhlas dan keyakinan. Ada benang halus yang menghubungkan kata dengan realitas internal, sehingga sulit untuk dibohongi mana yang sekedar berkata-kata dan berkata dengan jiwa.

              Bukankah Tuhan tidak suka orang yang hanya bisa berkata-kata namun tidak melakukan? salam  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar